Mar 23, '09 2:37 AM
untuk |
EKUATOR e-magazine mizan.com
“Discovering Ability” dan “Open
Book”: Rahasia Melejitkan Budaya Baca dengan “Multiple Intelligences” di
Sekolah-Sekolah Finlandia?
Oleh Munif Chatib
Oleh Munif Chatib
Munif Chatib |
Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD)---lewat program andalannya setiap dua tahun
sekali, yaitu Programme for International Student Assessment
(PISA)---memberikan informasi menarik yang bersifat mengoreksi, terkait dengan
kemajuan sebuah negara. Salah satu tolok ukur kemajuan sebuah negara adalah
seberapa tinggi tingkat budaya membaca masyarakat di negara tersebut. Menurut
data OECD, negara dengan kemampuan membaca tertinggi, saat diukur pada
2006-2007, adalah Finlandia. Skor yang diperoleh Finlandia adalah 543,46.
Setelah Finlandia, terdapat negara Korea Selatan (534,09), Kanada (527,91),
Australia (525,43), dan Liechtenstein (525,08). Sedangkan negara yang mendapat
skor terendah adalah Tunisia dengan 374,62, kemudian disusul Indonesia
(381,59), Meksiko (399,72), Brazil (402,80), Serbia (411,74).
Mengapa perlu dikatakan bersifat mengoreksi? Dikatakan seperti itu karena diharapkan tulisan ini mampu mengubah paradigma kita tentang budaya membaca dan bagaimana kita dapat menemukan cara-cara yang efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca masyarakat, khususnya para pelajar kita. Dengan melihat data di atas, Finlandia terbukti telah berhasil mengubah sebuah budaya, dari budaya lisan menjadi budaya baca, dalam waktu yang relatif singkat (secara statistik hanya dalam waktu 5 tahun). Tentulah ada sesuatu yang unik dan luar biasa di Finlandia. Kita tahu bahwa mengubah budaya suatu masyarakat atau bangsa bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Namun, Finlandia ternyata mempunyai cara dan sistem yang cukup efektif untuk melakukan hal tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa komunitas yang memberikan sumbangsih signifikan kepada para pelajar dalam meningkatkan minat baca adalah keluarga, sekolah, masyarakat, kemudian berlanjut ke fasilitas-fasilitas umum yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebelumnya, kondisi di Finlandia hampir tidak berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Finlandia juga mempunyai banyak problem terkait dengan minat baca di setiap komunitasnya. Pada komunitas keluarga, misalnya, acara televisi dan game Play Station (PS) menjadi pesaing utama minat baca di kalangan anak-anak. Di komunitas sekolah, perpustakaan sebagai sarana membaca belum mendapatkan prioritas yang cukup. Fasilitas-fasilitas umum untuk membaca pun, seperti perpustakaan kota, juga sepi pengunjung. Jadi, keadaan di Finlandia sebelum terjadi perubahan drastis, setali tiga uang dengan di Indonesia. Mengapa tiba-tiba dalam 5 tahun berikutnya Finlandia mengalami perubahan pesat terhadap minat baca?
Perubahan yang terjadi di Finlandia berawal dari perubahan yang dilakukan di komunitas sekolah. Komunitas sekolah ternyata mempunyai andil sangat besar dalam melejitkan minat baca para pelajar. Perubahan yang terjadi secara signifikan di komunitas sekolah di Finlandia tersebut akhirnya memengaruhi komunitas-komunitas yang lain. Yang sungguh mengagetkan, perubahan di sekolah juga berhasil mereduksi problem-problem yang ditimbulkan oleh para pesaing minat baca, seperti televisi dan game PS. Bagaimana sekolah-sekolah tersebut mampu mewarnai peningkatan minat baca anak didik di Finlandia? Rahasianya terletak pada diterapkannya strategi multiple intelligences dalam pelaksanaan aktivitas kognitif atau pelaksanaan umpan balik di setiap bab dalam setiap bidang studi. Berikut kisahnya.
Penerapan ”Discovering Ability” dan ”Open Book”
Dalam melakukan umpan balik kognitif atau ”ulangan harian” di setiap babnya, setiap guru menerapkan dua strategi penting, yaitu ”discovering ability” dan ”open book”. Strategi pertama yang dinamakan “discovering ability” ini adalah semacam program yang memungkinkan soal-soal “ulangan harian” yang dibuat oleh para guru dan diberikan kepada para siswa dapat dikerjakan atau dijawab oleh para siswa dengan cara dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa. Tentunya kemampuan siswa ini bergantung pada kecenderungan multiple intelligences mereka masing-masing. Jadi, soal boleh sama namun cara mengerjakannya dapat berbeda-beda. Dengan begitu, jawaban yang diberikan oleh setiap siswa dapat dalam bentuk sebuah gambar, uraian secara kronologis, tulisan, rekaman, atau presentasi. Betapa sangat bervariasinya jawaban tersebut bukan?
Strategi kedua yang bernama ”open book” adalah semacam program ”ulangan harian” di mana para siswa dapat mengerjakan soal tersebut dengan cara membuka buku. Dikarenakan para siswa boleh membuka buku, secara otomatis para guru didorong untuk membuat soal yang berkualitas sangat tinggi. Dengan kata lain, soal-soal tersebut akan terus bergerak ke atas sesuai dengan ”Tangga Bloom”, yaitu dari tangga dasar pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan akhirnya berujung ke evaluasi. Dengan sistem ”open book”, para guru akan terhindar dalam membuat soal dengan berhenti pada tangga pengetahuan saja. Sebaliknya dari itu, para guru akan tertantang membuat soal yang berkaitan dengan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Tidak akan ada lagi soal yang mempunyai instruksi sebagai berikut: ”Sebutkan lapisan-lapisan atmosfer bumi beserta jarak ketinggiannya?” Apabila soal ini dikerjakan dengan sistem ”open book”, tentulah para siswa akan menjawab dengan benar dengan cara memindahkan (copy and paste) tulisan dari buku ajarnya ke lembar jawaban ulangan harian. Namun, agar para siswa tidak melakukan copy and paste, para guru akan memutar otak secara maksimal untuk membuat soal yang berkualitas, seperti “Apabila mesosfera sebagai salah satu lapisan atmosfer bumi hilang, apa yang akan terjadi terhadap planet bumi?” Lewat pertanyaan seperti ini, para siswa tentulah akan tertantang untuk menganalisisnya secara cermat dan mendalam.
Membaca Buku secara ”Grouping”
Di samping dua strategi di atas, hal lain yang menarik adalah apa yang disebut sebagai model ”grouping” dan kewajiban membaca buku pada setiap ”ulangan harian”. Para guru akan mengumumkan kepada siswanya untuk membaca rata-rata 3 buku dan dibagi menjadi beberapa kelompok---biasanya satu kelompok terdiri dari 3 hingga 5 siswa. Terkadang informasi dari Internet, misalnya website tertentu, juga dijadikan sumber data dalam mengerjakan ”ulangan harian”. Membaca informasi dari sebuah website selain sudah jamak dalam era cyberspace seperti saat ini, juga akan menjadikan anak didik dapat lebih memperkaya sumber dengan informasi yang uptodate dan dinamis.
Ketika cara dan sistem ini dijalankan secara serius oleh setiap sekolah di Finlandia, muncullah data statistik tentang kesempatan anak untuk membaca yang luar biasa. Data statistik, dalam bentuk yang sederhana, tersaji sebagai berikut:
Mengapa perlu dikatakan bersifat mengoreksi? Dikatakan seperti itu karena diharapkan tulisan ini mampu mengubah paradigma kita tentang budaya membaca dan bagaimana kita dapat menemukan cara-cara yang efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca masyarakat, khususnya para pelajar kita. Dengan melihat data di atas, Finlandia terbukti telah berhasil mengubah sebuah budaya, dari budaya lisan menjadi budaya baca, dalam waktu yang relatif singkat (secara statistik hanya dalam waktu 5 tahun). Tentulah ada sesuatu yang unik dan luar biasa di Finlandia. Kita tahu bahwa mengubah budaya suatu masyarakat atau bangsa bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Namun, Finlandia ternyata mempunyai cara dan sistem yang cukup efektif untuk melakukan hal tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa komunitas yang memberikan sumbangsih signifikan kepada para pelajar dalam meningkatkan minat baca adalah keluarga, sekolah, masyarakat, kemudian berlanjut ke fasilitas-fasilitas umum yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebelumnya, kondisi di Finlandia hampir tidak berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Finlandia juga mempunyai banyak problem terkait dengan minat baca di setiap komunitasnya. Pada komunitas keluarga, misalnya, acara televisi dan game Play Station (PS) menjadi pesaing utama minat baca di kalangan anak-anak. Di komunitas sekolah, perpustakaan sebagai sarana membaca belum mendapatkan prioritas yang cukup. Fasilitas-fasilitas umum untuk membaca pun, seperti perpustakaan kota, juga sepi pengunjung. Jadi, keadaan di Finlandia sebelum terjadi perubahan drastis, setali tiga uang dengan di Indonesia. Mengapa tiba-tiba dalam 5 tahun berikutnya Finlandia mengalami perubahan pesat terhadap minat baca?
Perubahan yang terjadi di Finlandia berawal dari perubahan yang dilakukan di komunitas sekolah. Komunitas sekolah ternyata mempunyai andil sangat besar dalam melejitkan minat baca para pelajar. Perubahan yang terjadi secara signifikan di komunitas sekolah di Finlandia tersebut akhirnya memengaruhi komunitas-komunitas yang lain. Yang sungguh mengagetkan, perubahan di sekolah juga berhasil mereduksi problem-problem yang ditimbulkan oleh para pesaing minat baca, seperti televisi dan game PS. Bagaimana sekolah-sekolah tersebut mampu mewarnai peningkatan minat baca anak didik di Finlandia? Rahasianya terletak pada diterapkannya strategi multiple intelligences dalam pelaksanaan aktivitas kognitif atau pelaksanaan umpan balik di setiap bab dalam setiap bidang studi. Berikut kisahnya.
Penerapan ”Discovering Ability” dan ”Open Book”
Dalam melakukan umpan balik kognitif atau ”ulangan harian” di setiap babnya, setiap guru menerapkan dua strategi penting, yaitu ”discovering ability” dan ”open book”. Strategi pertama yang dinamakan “discovering ability” ini adalah semacam program yang memungkinkan soal-soal “ulangan harian” yang dibuat oleh para guru dan diberikan kepada para siswa dapat dikerjakan atau dijawab oleh para siswa dengan cara dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa. Tentunya kemampuan siswa ini bergantung pada kecenderungan multiple intelligences mereka masing-masing. Jadi, soal boleh sama namun cara mengerjakannya dapat berbeda-beda. Dengan begitu, jawaban yang diberikan oleh setiap siswa dapat dalam bentuk sebuah gambar, uraian secara kronologis, tulisan, rekaman, atau presentasi. Betapa sangat bervariasinya jawaban tersebut bukan?
Strategi kedua yang bernama ”open book” adalah semacam program ”ulangan harian” di mana para siswa dapat mengerjakan soal tersebut dengan cara membuka buku. Dikarenakan para siswa boleh membuka buku, secara otomatis para guru didorong untuk membuat soal yang berkualitas sangat tinggi. Dengan kata lain, soal-soal tersebut akan terus bergerak ke atas sesuai dengan ”Tangga Bloom”, yaitu dari tangga dasar pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan akhirnya berujung ke evaluasi. Dengan sistem ”open book”, para guru akan terhindar dalam membuat soal dengan berhenti pada tangga pengetahuan saja. Sebaliknya dari itu, para guru akan tertantang membuat soal yang berkaitan dengan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Tidak akan ada lagi soal yang mempunyai instruksi sebagai berikut: ”Sebutkan lapisan-lapisan atmosfer bumi beserta jarak ketinggiannya?” Apabila soal ini dikerjakan dengan sistem ”open book”, tentulah para siswa akan menjawab dengan benar dengan cara memindahkan (copy and paste) tulisan dari buku ajarnya ke lembar jawaban ulangan harian. Namun, agar para siswa tidak melakukan copy and paste, para guru akan memutar otak secara maksimal untuk membuat soal yang berkualitas, seperti “Apabila mesosfera sebagai salah satu lapisan atmosfer bumi hilang, apa yang akan terjadi terhadap planet bumi?” Lewat pertanyaan seperti ini, para siswa tentulah akan tertantang untuk menganalisisnya secara cermat dan mendalam.
Membaca Buku secara ”Grouping”
Di samping dua strategi di atas, hal lain yang menarik adalah apa yang disebut sebagai model ”grouping” dan kewajiban membaca buku pada setiap ”ulangan harian”. Para guru akan mengumumkan kepada siswanya untuk membaca rata-rata 3 buku dan dibagi menjadi beberapa kelompok---biasanya satu kelompok terdiri dari 3 hingga 5 siswa. Terkadang informasi dari Internet, misalnya website tertentu, juga dijadikan sumber data dalam mengerjakan ”ulangan harian”. Membaca informasi dari sebuah website selain sudah jamak dalam era cyberspace seperti saat ini, juga akan menjadikan anak didik dapat lebih memperkaya sumber dengan informasi yang uptodate dan dinamis.
Ketika cara dan sistem ini dijalankan secara serius oleh setiap sekolah di Finlandia, muncullah data statistik tentang kesempatan anak untuk membaca yang luar biasa. Data statistik, dalam bentuk yang sederhana, tersaji sebagai berikut:
- Jumlah bidang studi di SD rata-rata = 6 bidang studi
- Setiap bidang studi dalam satu tahun terdapat = 10 bab
- Setiap ulangan harian setiap bab siswa membaca = 3 buku
- Maka dalam 1 tahun dalam 1 bidang studi siswa membaca =
3 x 10 = 30 buku
- Maka dalam 1 tahun untuk 6 bidang studi siswa membaca =
30 x 6 = 180 buku
- Maka selama jenjang SD 6 tahun siswa membaca = 180 x 6 =
1.080 buku
Bagaimana dengan jenjang SMP,
SMA, dan perguruan tinggi? Tentu hitung-hitungannya secara statistik akan lebih
luar biasa. Pantaslah apabila Finlandia secara tiba-tiba, dalam tempo hanya 5
tahun, dapat mengalami perubahan budaya minat baca yang cukup signifikan, dan
akhirnya menempati peringkat pertama di seluruh dunia. Pertanyaan besarnya
adalah apakah cara ini dapat diterapkan di Indonesia? Jawabnya adalah bisa!
Hanya saja, diperlukan paradigma yang sama dalam menyikapi pemberian soal
dengan sistem ”open book”.
Seorang teman yang juga sebagai dosen di jurusan teknik di ITS Surabaya bercerita kepada penulis bahwa dirinya sudah hampir 15 tahun bersekolah di Amerika Serikat dan tidak pernah menjumpai soal-soal dengan ”closing book”, apalagi ”multiple choice”. Ketika pulang ke Indonesia dan mengajar di ITS, dia pun menerapkan umpan balik kepada mahasiswanya dengan sistem ”open book”. Ketika saya bertanya kepadanya kira-kira berapa dosen yang seperti dirinya? Dengan sedikit tertawa kecil, dia menjawab, tidak lebih dari 5 dosen. Wow! Semoga tulisan ini dapat menjadi embrio perubahan paradigma yang berkaitan dengan tes yang memberdayakan dan lebih berkualitas.[]
Seorang teman yang juga sebagai dosen di jurusan teknik di ITS Surabaya bercerita kepada penulis bahwa dirinya sudah hampir 15 tahun bersekolah di Amerika Serikat dan tidak pernah menjumpai soal-soal dengan ”closing book”, apalagi ”multiple choice”. Ketika pulang ke Indonesia dan mengajar di ITS, dia pun menerapkan umpan balik kepada mahasiswanya dengan sistem ”open book”. Ketika saya bertanya kepadanya kira-kira berapa dosen yang seperti dirinya? Dengan sedikit tertawa kecil, dia menjawab, tidak lebih dari 5 dosen. Wow! Semoga tulisan ini dapat menjadi embrio perubahan paradigma yang berkaitan dengan tes yang memberdayakan dan lebih berkualitas.[]
Link sumber: http://www.mizan.com/index.php?fuseaction=emagazine&id=34&fid=350
Tidak ada komentar:
Posting Komentar